Jumat, 30 Agustus 2013

Ternyata, mainan kaleng zaman dulu bernilai amat tinggi

Banyak orang tak menyangka, mainan anak-anak masa lampau bisa bernilai jual tinggi saat ini. Bila Anda, orangtua, atau kakek Anda masih menyimpan mainan berbahan timah (tin toy), jangan buru-buru membuangnya meski sudah usang.

Mata peserta lelang di bursa barang-barang seni dan mainan antik, James D. Julia, Amerika Serikat (AS), terbelalak. Di suatu hari pada bulan Juli lalu, sebuah mainan lawas berbahan baku lempengan timah atau tin toy terjual seharga US$ 161.000 atau setara Rp 1,45 miliar.

Malcolm Deisenroth, seorang kolektor mainan tin toy, berhasil mencatatkan koleksinya sebagai mainan dengan harga termahal. Koleksi mainan kuno buatan Althof Bergmann itu berwujud Santa Claus yang sedang menaiki kereta dan ditarik oleh dua ekor kambing.

Memang, para produsen membuat tin toy dalam berbagai wujud. Misalnya, bentuk manusia, hewan, kendaraan, dan robot. Ukuran mainan ini rata-rata sebesar telapak tangan orang dewasa. Kendaraan, binatang, atau tokoh mini itu dapat bergerak bila kita putar tangkai tuasnya.

Sebenarnya, saat ini, tin toy telah diproduksi secara massal. Namun, karena sejarah awal produksinya sudah bermula sebelum pecah Perang Dunia I, para kolektor lebih senang mengoleksi tin toy kuno.

Menurut pengakuan beberapa kolektor mainan ini, ada beberapa faktor yang menyebabkan harga tin toy menjulang tinggi. Pertama, unsur kelangkaan. Kedua, faktor umur. Layaknya sebuah barang antik, semakin tua umur tin toy, harganya kian mahal.

Selain itu, kondisi fisik juga menentukan harga mainan itu. Mainan tergolong bagus bila tidak berkarat dan warna-warnanya masih bagus. Semakin bagus kondisi mainan, tentu, semakin bagus pula harganya.

Penggerak mainan itu, apakah menggunakan baterai atau manual, juga turut menentukan banderol tin toy. Biasanya, harga tin toy yang bekerja dengan baterai lebih mahal. “Selain itu, ukuran juga pasti mempengaruhi harga,” jelas Deny Yuriandi, kolektor tin toy.

Di luar itu semua, kadang kala, faktor tren turut menentukan harga sebuah tin toy. Misalnya, saat ini, para kolektor sedang tergila-gila dengan tin toy berbentuk robot, pesawat unidentified flying object (UFO), pesawat antariksa, kapal pengangkut kargo, kapal selam, kereta api, dan komidi putar. Di luar negeri, jenis mainan ini sudah sangat langka dan kalaupun ada harganya pasti tinggi. “Minimal Rp 2 juta per unit,” ujar Deny.

Oh, iya, metode pewarnaan saat proses pembuatan juga mempengaruhi harga tin toy. Umumnya, para produsen mewarnai mainan itu dengan teknik lithograph yang masih dilakukan secara manual alias menggunakan tangan.
Meski begitu, terbukti warna mainan itu tidak mudah luntur, selalu terlihat cerah dan alami. Semakin detail pewarnaan, harga mainan ini semakin tinggi.
Cepi Rusli, seorang kolektor tin toy, menuturkan, kini, banderol mainan asal Eropa dan Jepang mencapai jutaan rupiah. Maklum, tin toy dari kedua negara itu menjadi buruan para kolektor.
Ini berbeda dengan tin toy buatan China yang marak diproduksi belakangan ini. Menurut Cepi, harga tin toy asal China hanya puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Ini wajar. Sebab, produk itu belum memiliki nilai historis dan mudah ditemui di pasaran.

“Mainan kaleng kuno yang banyak dikoleksi adalah mainan yang diproduksi sebelum tahun 1960-an,” kata Cepi. Adapun tin toy berusia di atas tahun 1960-an tidak terlalu sulit didapat di pasar.

Menurut dia, banyak kolektor asal Jepang, Eropa, dan Singapura yang bersedia memborong koleksi mainan dari kolektor negara lain. “Harganya bisa gila-gilaan,” imbuhnya. Maklum, para penjual yang mayoritas juga kolektor hanya bersedia melepas koleksinya dengan harga tinggi. Pasalnya, mainan semacam ini memiliki nilai nostalgia yang cukup tinggi.

Cepi bercerita, saat koleksi tin toy-nya mencapai 100 unit, ada seorang kolektor asal Singapura yang ingin memborongnya. Tawaran harganya Rp 125 juta. Toh, dia menampik tawaran itu karena ia nilai terlalu rendah. Ia bersikeras mempertahankan mainan-mainan itu meski sebagian koleksinya telah rusak termakan usia. Kini, koleksinya mencapai 200 buah.


Berburu di pasar loak

Menurut pengakuan Cepi, dia mengoleksi tin toy bukan sekadar untuk investasi, melainkan lebih karena hobi. Maklum, tin toy menghadirkan imajinasi masa kecilnya ke dalam bentuk yang nyata. Misalnya, tin toy berbentuk pesawat luar angkasa yang unik dan berwarna cerah.

Asal tahu saja, kolektor yang bekerja di sebuah perusahaan investasi ini telah mengoleksi tin toy sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Awalnya, tanpa sengaja, Cepi menemukan kembali mainan masa kecilnya. Sejak itu, ia semakin rajin mengumpulkan jenis mainan langka ini.

Ia menaksir, nilai salah satu koleksi mainan pesawatnya saat ini telah mencapai sekitar Rp 15 juta. Pesawat berukuran 30 sentimeter (cm) x 15 cm itu merupakan tin toy produksi Jepang yang menggunakan tenaga baterai.

Harga beberapa mainan yang lain juga bisa mencapai belasan juta rupiah. Maklum, selama ini, ia rajin berburu mainan bermerek ternama asal Jepang. Di antaranya adalah Marusan Co Ltd, Modern Toys Logo, Nomura, Yoshiya atau Kobe Yoko, Bandai Masuya, Sankei, serta Yonezawa.

Selain itu, masih ada lagi beberapa tin toy merek lain yang populer di era dekade 1940–1950-an. “Saya hanya mengumpulkan yang bentuk dan kualitasnya bagus; dan yang terpenting orisinal,” cetus Cepi.

Dengan alasan menjaga unsur keaslian koleksinya, dia tidak pernah memperbaiki mainan kalengnya jika rusak. Karena, ia khawatir akan menghilangkan atau mengganti komponen asli yang terpasang di mainan itu.

Berbeda dengan Cepi yang menggilai mainan kaleng asal Jepang, Deny dan Tony Lasmono Dewo mengumpulkan hampir semua jenis mainan kaleng kuno tanpa terlalu memedulikan bentuk dan asal negara yang memproduksinya.

Hingga kini, Dewo mengoleksi sekitar 1.000 unit tin toy. Sementara itu, Deny yang telah mendirikan komunitas mainan kuno memiliki sekitar 2.000 unit tin toy. Mereka mengaku harus berjuang ekstrakeras untuk memiliki tin toy yang mereka idam-idamkan sejak lama.

Dewo lebih suka bergerilya di pasar tradisional dalam negeri. Dengan cara ini, dia seringkali beruntung mendapatkan mainan kaleng dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga barang sejenis di pasar lelang.

Koleksi milik Dewo yang paling mahal adalah Gozilla buatan Jepang. Harga lelang untuk mainan ini pada tahun 2007 lalu mencapai US$ 1.000 atau setara Rp 9 juta. Padahal, dia membeli mainan ini di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, hanya seharga Rp 50.000.

Jika ingin mencari di Indonesia, Dewo menyarankan agar peminat tin toy berburu di toko loak tradisional. Misalnya, Pasar Klitikan di Yogyakarta serta Pasar Senen dan Pasar Jatinegara di Jakarta. “Siapa tahu Anda menemukan emas di antara barang bekas itu,” timpalnya.

Dewo mengaku pernah menemukan mainan kaleng berbentuk alat berat di Pasar Senen. Saat itu, dia membelinya seharga Rp 600.000. Ini terhitung cukup murah karena harganya bisa melonjak dua hingga empat kali lipat jika ia lelang secara online.

Berbeda dengan Dewo, Cepi biasanya selalu menyempatkan diri mampir ke pasar loak setiap kali melawat ke Inggris atau Jepang untuk urusan kantor. Selain itu, eBay menjadi situs favoritnya untuk mencari lelang mainan kaleng dengan harga terjangkau.

Bahkan, Cepi tak segan-segan memasang iklan di media massa untuk mencari mainan tin toy yang diinginkannya. “Sulit mencarinya di Indonesia, terutama merek Jepang buatan tahun 1950-an,” tuturnya.


Hobi bernilai tinggi

Anda berminat menjadi kolektor tin toy? Sebelum terjun, Anda harus memahami seluk-beluk pasar mainan ini. Yang utama, mengoleksi mainan berbeda dengan mengoleksi lukisan. Sebab, harga mainan itu sangat ditentukan oleh nilai historis bagi pemiliknya. Jadi, menebak harga wajarnya bukan perkara mudah.

Tapi, sebagai pegangan, menurut Deny, harga mainan kaleng akan makin mahal jika jumlahnya makin langka. Apalagi, kolektor mainan besar sering memborong mainan, sehingga pasokannya menjadi kian terbatas.

“Saya terinspirasi oleh Marvin Chan, kolektor asal Singapura yang memiliki Museum The Sanghai Toys,” kata Deny. Dengan alasan ini, ia tidak terlalu memedulikan biaya yang harus ia keluarkan saat berburu mainan. Kini, di Indonesia, harga mainan itu berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 5 juta.

Selain itu, para kolektor bisa mengacu pada buku panduan untuk menentukan harga jual dan beli sebuah mainan. Namun, referensi buku panduan yang tersedia juga sangat terbatas. Biasanya, setiap buku merangkum harga mainan kaleng yang telah dijual melalui proses lelang.

“Harga di buku tersebut merupakan harga acuan. Kadang, malah ada yang empat kali lipat lebih tinggi,” ujar Cepi.

Namun, Deny menyimpulkan, sejatinya harga tin toys ini memang tidak memiliki patokan. Jika orang senang, dia akan terus menawar dan rela membayar sesuai dengan permintaan penjual. Dalam kondisi seperti ini, penjual bebas menentukan harga.

Pengalaman Dewo, mungkin, bisa menjadi gambaran. Suatu ketika, dia ingin menjual koleksi mainannya berupa robot kaleng buatan Jepang. Dia mengaku membeli tin toy tersebut seharga Rp 30.000 pada 2002 silam. Kebetulan, dia memiliki dua buah. Nah, pada tahun yang sama, ia berhasil menjual salah satu mainan itu dengan harga Rp 500.000.

Namun, jika berniat menjadi investor murni tin toy, Anda mungkin akan cukup kesulitan memperoleh mainan ini di Indonesia. Pasalnya, komunitas mainan kaleng kuno ini masih sedikit. Jika berminat, Anda bisa bermain di pasar luar negeri dan bersaing dengan kolektor mainan dunia. Berani?

Tidak ada komentar: